ARTICLE AD BOX
, Jakarta - Sebelum Indonesia merdeka, penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri dilakukan secara lokal oleh para pemimpin adat. Hal ini menyebabkan perbedaan penentuan hari raya di beragam wilayah, menciptakan beragam tradisi dan perayaan.
Setelah kemerdekaan, Kementerian Agama (Kemenag) pada 4 Januari 1946 mendapat mandat untuk menentukan hari raya besar Islam, termasuk Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, keputusan ini belum sepenuhnya diterima seluruh umat Islam di Indonesia, memicu perlunya sistem nan lebih inklusif.
Muncullah sidang isbat sebagai forum untuk mencapai konsensus nasional. Perjalanan panjang sidang isbat ini diwarnai dinamika perbedaan metode hisab dan rukyat, serta beragam upaya untuk meningkatkan transparansi dan kecermatan dalam penentuan awal bulan Hijriah.
"Sidang Isbat bermaksud untuk menentukan secara nasional kapan umat Islam memulai dan mengakhiri ibadah puasa. Meski beberapa organisasi Islam telah mengumumkan jadwalnya masing-masing, keputusan pemerintah melalui sidang ini tetap menjadi referensi utama bagi masyarakat," kata Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, Abu Rokhmad dikutip dari Kemenag.go.id, Rabu (26/2/2025).
Dari Penetapan Lokal Menuju Sidang Isbat
Pada masa sebelum kemerdekaan, penentuan awal bulan Hijriah sangat beragam lantaran ditentukan oleh masing-masing daerah. Tidak adanya standar nasional menyebabkan perbedaan dalam seremoni hari besar keagamaan di beragam wilayah Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah berupaya menyatukan penetapan hari besar Islam. Kemenag didirikan dan diberi tanggung jawab untuk menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Namun, perbedaan pendapat dan metode kalkulasi tetap ada. Sidang isbat muncul sebagai solusi untuk mencapai kesepakatan dan keseragaman dalam penentuan awal bulan Hijriah di Indonesia.
Sidang Isbat: Perkembangan dan Peran Badan Hisab Rukyat
Sidang Isbat pertama kali diadakan sekitar dasawarsa 1950-an, meskipun beberapa sumber menyebut tahun 1962 sebagai tahun permulaannya. Awalnya, sidang ini tetap sederhana dan didasarkan pada fatwa ulama.
Pada tahun 1972, pemerintah membentuk Badan Hisab Rukyat (BHR) di bawah Kemenag. BHR bekerja memberikan info dan info mengenai awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah, menggunakan metode hisab dan rukyat.
Tujuan pembentukan BHR adalah untuk menyeragamkan penentuan awal bulan Hijriah di seluruh Indonesia. BHR memberikan rekomendasi kepada Menteri Agama nan kemudian diputuskan melalui sidang isbat.
"Sidang isbat, hisab dan rukyat merupakan bentuk kehadiran negara dalam memberikan jasa keagamaan kepada masyarakat. Sebagai corak jasa keagamaan kepada masyarakat, pembiayaan merupakan akibat logis nan tidak mungkin dihindari, sebagaimana jasa pendidikan alias kesehatan," kata dia.
Keputusan Fatwa MUI dan Peran Ormas Islam
Keputusan Fatwa MUI No. 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berasas metode rukyah dan hisab oleh pemerintah melalui Kemenag. Keputusan ini bertindak secara nasional.
Meskipun demikian, perbedaan pendapat tetap ada, terutama antara pemerintah dan organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Muhammadiyah mempunyai metode dan kriteria penentuan awal bulan Hijriah nan berbeda.
Perbedaan ini terutama disebabkan oleh perbedaan penafsiran kriteria visibilitas hilal. Namun, sidang isbat tetap menjadi forum krusial untuk mencapai konsensus nasional.
Peran Teknologi dan Ilmu Pengetahuan dalam Sidang Isbat
Kemenag terus berupaya meningkatkan transparansi dan kecermatan proses sidang isbat. Perkembangan teknologi dan pengetahuan pengetahuan turut dipertimbangkan dalam penentuan awal bulan Hijriah.
Penggunaan teknologi seperti satelit dan observatorium modern membantu meningkatkan kecermatan info hisab. Data-data ini dibahas dan dikaji dalam sidang isbat.
Dengan demikian, sidang isbat tidak hanya mengandalkan metode tradisional, tetapi juga memanfaatkan teknologi modern untuk meningkatkan keakuratan dan transparansi prosesnya.
Tantangan dan Masa Depan Sidang Isbat
Sidang isbat bermaksud untuk menyatukan penetapan hari raya keagamaan, namun perbedaan pendapat tetap ada. Tantangan utama adalah mencapai kesepahaman di antara beragam pihak nan terlibat.
Perbedaan metode hisab dan rukyat, serta perbedaan penafsiran kriteria visibilitas hilal, menjadi aspek utama penyebab perbedaan. Upaya untuk meningkatkan komunikasi dan pemahaman antar pihak sangat penting.
Ke depan, sidang isbat diharapkan dapat terus meningkatkan kecermatan dan transparansi, serta mempertimbangkan perkembangan teknologi dan pengetahuan pengetahuan. Hal ini krusial untuk menjaga kesatuan umat Islam di Indonesia dalam merayakan hari-hari besar keagamaan.