Fraksi Golkar Mpr Soroti Anggaran Pendidikan Kedinasan Yang Capai Rp 104 T

Sedang Trending 3 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Fraksi Partai Golkar MPR RI menyoroti alokasi anggaran pendidikan kedinasan nan dinilai terlalu besar dan diambil dari porsi anggaran pendidikan 20 persen APBN. Hal ini disampaikan dalam Sarasehan Nasional bertema 'Merumuskan Kembali Anggaran Pendidikan Guna Mewujudkan Amanat Konstitusi Menuju Indonesia Emas 2045' pada Jumat (8/8).

Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng, menyebut anggaran pendidikan tahun 2025 sebesar Rp 724 triliun, namun hanya Rp 91,4 triliun nan dialokasikan untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sementara itu, pendidikan kedinasan nan diikuti sekitar 13 ribu orang justru mendapat Rp 104 triliun.

"Tahun 2025, anggaran pendidikan kita Rp 724 triliun. Mungkin bisa dibuka ya. Rp 724 triliun, itu ke mana saja? Setelah saya melakukan searching, anggaran untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi hanya Rp 91,4 triliun. Terus, ada anggaran kedinasan. Anggaran Rp 91,4 triliun itu digunakan untuk 64 juta siswa. Anggaran kedinasan untuk 13 ribu orang menggunakan Rp 104 triliun. Apa ini adil? 64 juta orang, hanya dikasih Rp 91,4 triliun. 13 ribu orang, anggaran kedinasan Rp 104 triliun," ujar Mekeng dalam keterangannya, Minggu (10/8/2025).

Menanggapi perihal itu, personil MPR Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian mengungkapkan bahwa anggaran pendidikan tersebar di puluhan Kementerian dan lembaga.

"Sekarang kementerian apa nan betul-betul mengurus pendidikan? Ternyata bukan hanya Kementerian Pendidikan Dasar Menengah, bukan hanya Kementerian Pendidikan Tinggi. Jadi ada puluhan kementerian lembaga nan rupanya menggunakan biaya pendidikan ini, apalagi juga ada pendidikan-pendidikan kedinasan," katanya.

Hetifah menilai anggaran pendidikan 20 persen dari APBN/APBD kudu dialokasikan ke pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Kalau anggaran pendidikan dan pendidikan kedinasan tidak dipisahkan maka pendidikan dasar, menengah, dan tinggi tidak bakal maksimal.

"Hal ini bakal dibahas dalam revisi UU Sisdiknas. Komisi X bakal menindaklanjuti dalam corak revisi UU Sisdiknas, nan memang sudah berumur lebih dari dua dekade. Salah satunya mengatur tentang anggaran ini," ujarnya.

Selain itu, Hetifah melanjutkan bahwa revisi UU Sisdiknas bakal mendefinisikan kembali tentang anggaran pendidikan 20 persen dari mandatory spending di konstitusi baik di APBN maupun APBD.

"Kami juga mau memastikan bahwa pengedaran 20 persen anggaran pendidikan ini transparan dan sesuai peruntukannya, tepat guna, tepat sasaran, dan juga tepat waktu," tegasnya.

Di sisi lain, Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai pembagian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN/APBD tidak setara lantaran Rp91,4 triliun dialokasikan untuk 64 juta siswa/mahasiswa, sedangkan Rp104 triliun untuk 13.000 peserta pendidikan kedinasan.

"Apalagi menurut undang-undang, pembiayaan pendidikan kedinasan tidak boleh mengambil anggaran pendidikan 20 persen itu," ucapnya.

Selain itu, Hendardi menegaskan bahwa biaya pendidikan kedinasan nan diambil dari anggaran pendidikan 20 persen merupakan sebuah pelanggaran, malah condong bisa disebut sebagai pelanggaran hukum.

"Karena itu, buahpikiran dan pendapat Fraksi Partai Golkar MPR RI nan mempertanyakan anggaran pendidikan kedinasan nan diambil dari anggaran pendidikan 20 persen APBN ini perlu kita dukung. Fraksi Partai Golkar MPR juga bakal membikin surat kepada pemerintah, dan Presiden," katanya.

Menurut Hendardi, andaikan ada buahpikiran dan pendapat dari masyarakat alias publik untuk mengusulkan gugatan terhadap persoalan itu juga merupakan sesuatu nan wajar. Misalnya, melakukan gugatan adanya pelanggaran norma lantaran pengedaran anggaran pendidikan nan tidak dilakukan secara benar.

Hendardi juga mengambil contoh TNI dan Polri nan melakukan pembiayaan pendidikan kedinasan secara berdikari lantaran tidak mengambil anggaran pendidikan 20 persen tapi dibiayai dari institusinya.

"Itu nan kudu dilakukan. Jadi, jangan seolah-olah ada nan mendapatkan privilege, sudah mendapatkan sekolah, kemudian juga tempat bekerja. Ini tidak adil," pungkasnya.

(akn/ega)

Selengkapnya