ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Peristiwa pembongkaran tenda tindakan penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI oleh Satpol PP DKI Jakarta di depan Gedung DPR RI pada 9 April 2025 kembali memantik perdebatan publik. Aksi pembubaran nan terekam dan viral di media sosial tersebut menuai kritik, termasuk dari Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo, nan menyatakan kekecewaannya dan menegur langsung Kepala Satpol PP Provinsi DKI Jakarta. Satpol PP kemudian menyampaikan permohonan maaf dan berjanji bakal mengedepankan pendekatan dialogis dalam menangani tindakan demonstrasi di masa mendatang.
Ini bukan kejadian pertama nan menyita perhatian publik. Insiden berdarah di makam Mbah Priok, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada April 2010, menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah Satpol PP. Ketika itu, bentrok antara Satpol PP dan penduduk nan menolak relokasi makam berujung pada kerusuhan besar nan menewaskan tiga orang dan melukai puluhan lainnya, termasuk petugas Satpol PP sendiri. Tragedi tersebut menjadi pelajaran krusial bahwa penegakan patokan tanpa pendekatan sosial nan sensitif bisa berbuntut fatal.
Dua peristiwa ini memperkuat stigma bahwa Satpol PP seringkali bertindak represif dan arogan dalam menjalankan tugasnya. Stigma bahwa Satpol PP adalah abdi negara represif tidak muncul dari ruang kosong. Pengalaman masyarakat menyaksikan penertiban PKL, penggusuran kampung, dan pembubaran demonstrasi tanpa negosiasi memperkuat gambaran lembaga ini sebagai simbol kekuasaan, bukan pelayanan.
Citra tersebut tidak lepas dari sejarah panjang lembaga ini, nan berakar dari masa kolonial ketika abdi negara pangreh praja menjalankan kegunaan administratif dan penegakan patokan lokal dengan pendekatan koersif. Pascakemerdekaan, peran ini beralih bentuk menjadi Satpol PP, nan secara umum bekerja menegakkan peraturan wilayah dan menjaga ketertiban umum.
Namun, dalam praktiknya, Satpol PP sering diasosiasikan sebagai 'sayap militer' pemerintah daerah, dengan style semi-militeristik nan menimbulkan jarak antara abdi negara dan warga. Pengalaman masyarakat nan menyaksikan penertiban pedagang kaki lima, penggusuran permukiman, alias pembubaran kerumunan seringkali dilakukan dengan pendekatan koersif, memperkuat gambaran negatif nan melekat pada lembaga ini.
Menarik untuk mencermati gimana tiga gubernur Jakarta terakhir-Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Anies Baswedan-memiliki pendekatan berbeda dalam memposisikan Satpol PP. Jokowi mengedepankan pendekatan humanis dan dialogis dalam penataan kota. Ahok, dengan style kepemimpinan nan tegas, menjadikan Satpol PP sebagai ujung tombak penertiban kota. Sementara Anies Baswedan menekankan kerjasama dan pendekatan persuasif dalam penegakkan aturan.
Dalam konteks Jakarta nan sedang beralih bentuk menjadi kota global, peran Satpol PP perlu ditata ulang. Institusi ini kudu beradaptasi dengan nilai-nilai demokrasi, kewenangan asasi manusia, dan prinsip-prinsip good governance. Satpol PP semestinya menjadi pelayan masyarakat nan profesional, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan warga.
Kota dunia memerlukan tata kelola nan demokratis, partisipatif, dan beradab. Satpol PP kudu menjadi representasi dari pelayanan publik nan humanis, profesional, dan peka sosial-bukan sekadar perangkat paksa pemerintah daerah.
Untuk mencapai perihal tersebut, diperlukan reformasi internal nan mencakup peningkatan kapabilitas sumber daya manusia, training tentang kerakyatan dan kewenangan asasi manusia, serta perubahan budaya organisasi. Pimpinan dan personel Satpol PP kudu mempunyai pengetahuan dan kesadaran nan cukup tentang prinsip-prinsip demokrasi, citizenship, dan kewenangan asasi manusia, serta literasi nan baik soal sosial budaya kota.
Transformasi Satpol PP menjadi lembaga nan modern dan humanis bukan hanya krusial untuk meningkatkan gambaran institusi, tetapi juga esensial dalam mendukung Jakarta sebagai kota dunia nan inklusif dan berkeadilan. Sudah saatnya Satpol PP meninggalkan pendekatan koersif dan mengangkat pendekatan nan lebih dialogis dan partisipatif dalam menjalankan tugasnya.
Dengan demikian, Satpol PP dapat berkontribusi secara positif dalam menciptakan tata kota nan tertib, adil, dan menghormati hak-hak semua warga. Satpol PP juga tidak bakal kehilangan eksistensinya sebagai salah satu Perangkat Daerah nan tetap relevan dengan konteks kota global.
M Shendy Adam Firdaus
ASN Pemprov DKI Jakarta
(jbr/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini